Monday, July 31, 2017

Ekspedisi Menuju Benua ke-8 yang "Hilang" Dimulai


Lebih dari 30 ilmuwan akan bergabung dalam ekspedisi yang bertujuan untuk menjawab banyak pertanyaan tentang Zealandia, benua ke-8 yang baru ditemukan.



Ekspedisi Menuju Benua ke-8 yang ''Hilang'' DimulaiPeta Benua Zealandia. (Alexrk/Wikimedia Commons)



Masih ingatkah Anda, beberapa saat yang lalu, benua baru bernama Zealandia telah ditemukan di timur Australia. Kini, para ilmuwan tengah mempersiapkan sebuah ekspedisi menuju benua yang 'hilang' tersebut.


Ekspedisi 371 yang didanai oleh National Science Foundation dan International Ocean Discovery Program bertujuan untuk menjawab banyak pertanyaan tentang Zealandia. Lebih dari 30 ilmuwan akan bergabung dalam ekspedisi pada tanggal 27 juli ini. Selama dua bulan mereka akan berada di JOIDES Resolution, sebuah kapal khusus pengeboran ilmiah.


Tim akan mengunjungi 6 lokasi di Laut Tasman antara Australia dan Selandia baru untuk mengebor inti sedimen dan batuan dari kerak bumi. Masing-masing inti akan berada di antara kedalaman 300 meter dan 800 meter. Ini artinya peneliti dapat meneliti kembali ke masa lalu hingga puluhan juta tahun silam.


"100 juta tahun yang lalu, Antartika, Australia dan Zealandia adalah satu benua," kata Gerald Dickens, peneliti yang bergabung dalam ekspedisi ke Zealandia seperti yang dikutipd dari Live Science 18 Juli 2017.


Dia melanjutkan, sekitar 85 juta tahun yang lalu Zealandia memisahkan diri dan untuk sementara waktu, dasar laut di antara Zealandia dan Australia terpisah.


Setelah pergeseran ini, area antara kedua benua tertekan. Namun, sekitar 50 juta tahun yang lalu, lempeng Pasifik di bawah Selandia Baru mengangkat kedua pulau, membentuk serangkaian gunung berapi di Pasifik, dan melepaskan tekanan di kerak laut di antara kedua benua.


"Yang ingin kami pahami adalah mengapa dan kapan berbagai tahap dari pengenduran itu terjadi," ungkap Dickens.


Adanya penelitian ini bisa mengungkap bagaimana arus laut dan iklim berubah saat itu.


Zealandia merupakan benua yang mencakup Selandia Baru dan Kaledonia Baru sehingga luasnya sekitar 5 juta kilometer persegi. Namun, 94 persen dari wilayah benua itu berada di bawah permukaan laut. Hanya sebagian pulau-pulau kecil di sekitarnya saja yang ada di permukaan.


Argumen soal bagaimana Zealandia terbentuk didasarkan pada beberapa bukti. Batu-batu di bawah dasar laut di lepas pantai Selandia Baru terdiri dari berbagai jenis batuan purba yang hanya ditemukan di benua.


Bagian yang menonjol dari benua Zealandia juga lebih dangkal daripada permukaan kerak samudra di dekatnya. Lalu, sampel batuan menunjukkan lapisan tipis kerak samudra yang memisahkan Australia dengan Zealandia.


Semua faktor ini menunjukkan bahwa daerah bawah laut di sekitar Selandia Baru membentuk sebuah benua.





(Monika Novena/Kompas.com)


Mengapa Ada Orang yang Fobia Terhadap Lubang? Sains Menjelaskannya


Bagi sebagian orang, kumpulan tak beraturan dari lubang atau gelembung bisa menimbulkan reaksi berlebihan. Kondisi ini disebut trypophobia.



Mengapa Ada Orang yang Fobia Terhadap Lubang? Sains MenjelaskannyaTrypophobia adalah ketakutan terhadap lubang, suatu kondisi yang memicu individu untuk menderita reaksi emosional saat melihat gambar yang tampaknya tidak berbahaya dari sekumpulan objek, biasanya lubang atau sesuatu yang berbolong. (Thinkstock)



Lubang atau gelembung hanyalah bentuk yang tidak menimbulkan ancaman berarti. Namun, bagi banyak orang, kumpulan yang tidak beraturan dari bentuk tersebut menimbulkan reaksi yang berlebihan. Kondisi ini disebut dengan trypophobia yang berarti ketakutan terhadap lubang, walaupun lebih mirip rasa jijik.


Pada tahun 2013 lalu, para ilmuwan menyebut reaksi aneh saat melihat lubang terjadi karena asosiasi bentuk tersebut dengan hewan beracun, termasuk ular dan gurita kepala biru.





Namun, Tom Kupfer, seorang peneliti pascasarjana di bidang psikologi di University of Kent di Inggris, bersama rekannya An Trong Dinh Le, kandidat PhD dalam bidang psikologi di University of Essex, menemukan alasan yang berbeda.


Mereka melakukan sebuah eksperimen dengan 300 orang pengidap trypophobia dan 300 mahasiswa yang tak memiliki trypophobia.


Para peserta kemudian dihadapkan pada 32 gambar: 8 foto berisi gambar lingkaran yang berhubungan dengan penyakit seperti ruam, bekas luak cacar, dan kumpulan kutu darah yang membesar; 8 foto berisi gambar lingkaran yang tak berhubungan dengan penyakit, seperti lubang bor di dinding dan biji bunga teratai; sisanya, tak terkait dengan lubang sama sekali.





Hipotesisnya, kedua kelompok akan menganggap gambar pertama tak menyenangkan dilihat, sementara pengidap trypophobia juga merasa tak nyaman saat melihat foto yang tak ada hubungannya dengan penyakit.


Ternyata, hipotesis para peneliti terbukti. "Kami menemukan bahwa hanya sebagian kecil dari mereka yang melaporkan rasa takut atau berhubungan dengan takut. Mayoritas melaporkan perasaan jijik atau yang berhubungan dengan jijik," kata Kupfer seperti dikutip dari Live Science


Dipublikasikan dalam jurnal Cognition and Emotion, para peneliti melaporkan bahwa saat pengidap trypophobia melihat gambar lubang atau gelembung, mereka mengatakan adanya perasaan jijik ekstrem yang tak dipahami hingga merasa terkontaminasi. Tak sedikit pula yang merasa gatal, seolah-olah ada yang berjalan-jalan pada kulit mereka.





Para peneliti menyimpulkan, persasaan jijik tersebut merupakan kecemasan ekstrem tentang parasit. Salah satu peserta, misalnya, mengatakan, saya merasa seperti lubang itu berada di lengan, kaki, dan seluruh tubuh. Jadi saya menggaruk kulit sampai berdarah.


Akan tetapi, trypophobia masih belum diakui sebagai gangguan mental di dunia psikiatri. Rencananya, Kupfer ingin melakukan analisis yang lebih komprehensif untuk mendapatkan informasi lebih jauh mengenai trypophobia.


"Memahami dan menggambarkannya - fiturnya dan mengapa hal itu ada - mungkin berguna bagi orang-orang yang memiliki kondisi ini dan orang-orang yang akan mengobatinya," kata Kupfer.





(Lutfy Mairizal Putra/Kompas.com)


Kasus Langka, Seorang Anak Bisa Kontrol HIV dalam Tubuhnya Tanpa Obat


Anak tersebut bisa bertahan hidup dan mengendalikan virus dalam kondisi tak terdeteksi meskipun sudah bertahun-tahun tidak mengonsumsi anti retroviral (ARV).



Kasus Langka, Seorang Anak Bisa Kontrol HIV dalam Tubuhnya Tanpa ObatVirus HIV (SPL via BBC Indonesia)



Seorang anak dari Afrika Selatan menjadi perbincangan dalam International AIDS Conference ke 9 yang diadakan Paris minggu lalu.





Pasalnya, dia bisa bertahan hidup dan mengendalikan virus dalam kondisi tak terdeteksi meskipun sudah bertahun-tahun tidak mengonsumsi anti retroviral (ARV).


Para ilmuwan yang mengikuti konferensi itu mengatakan, kasus pada anak yang identitasnya dirahasiakan itu merupakan pertama kali di Afrika dan ketiga di dunia.


"Ini sangat langka," kata Avy Violari, Kepala Unit Penelitian HIV Parilahir (periode 5 bulan sebelum kelahiran hingga 1 bulan sesudahnya) di University of Witwatersrand di Afrika Selatan.





Sang anak lahir 9 tahun lalu dengan status HIV positif. Violari dan timnya segera memberikan perawatan anti-retroviral segera setelah lahir hingga 40 minggu.


Setelah 8,5 tahun menghentikan pemberian ARV, Violari melakukan viral load pada sang anak akhir 2015 lalu. Hasilnya, virus tetap tidak terdeteksi.


Status virus yang tidak terdeteksi menunjukkan, tubuh sang anak bisa mengontrol pertumbuhan virus.





Pada 99 persen orang dengan HIV, jumlah virus akan meningkat kembali jika tidak mengonsumsi ARV. Hanya orang yang secara genetik resisten terhadap HIV yang bisa mengontrolnya.





Anak dalam kasus ini tidak termasuk dalam golongan orang yang punya "bakat" genetik melawan HIV sehingga kasusnya menarik.





Violari menilai, kasus langka ini memberi harapan. "Dengan mempelajarinya, kami berharap bisa menemukan cara menghentikan perawatan," katanya seperti dikutip CNN, Senin (24/7/2017).


Dari 2005 - 2011, pakar HIV dunia melakukan proyek riset Children with HIV Early Antiretroviral Therapy, (CHER).





Dalam proyek itu, para ilmuwan memberikan perawatan ARV segera pada 370 bayi yang terinfeksi HIV. Terapi ARV berlangsung selama 40 - 96 minggu.





Data mengungkap, terapi ARV segera berhasil mengurangi angka kematian hingga 76 persen dan mencegah perkembangan penyakit hingga 75 persen.


Kasus Hilangnya Tara Leigh Calico


20 September 1988, Tara Leigh Calico keluar untuk bersepeda di sekitar rumahnya di kota kecil Belen, New Mexico, Amerika Serikat. Siapa sangka itu adalah awal kasus paling misterius di AS yang tak terungkap sampai hari ini. 

Tara pamit pada ibunya pukul 09.30 pagi. Dia berencana main tenis dengan pacarnya lepas tengah hari nanti.

"Jika tak ada kabar hingga tengah hari, cari saya ya," kata Tara pada Patty Doel, ibunya.

Tak ada firasat apa pun kala itu. Mahasiswi University of New Mexico tersebut pergi mengayuh sepeda gunungnya yang berwarna pink sambil mendengarkan musik lewat walkman.

Hingga sore, Patty tak mendapati anaknya pulang. Sedikit khawatir, dia mengeluarkan mobil dan menyusuri rute yang biasa digunakan anaknya bersepeda. Dia mulai takut.

Napas Patty hampir berhenti saat melihat kaset dari walkman Tara tergeletak di jalan yang sepi.







Sang ibu langsung melapor ke polisi. Dia yakin terjadi sesuatu pada putrinya. Patty menduga kaset itu sengaja ditinggalkan Tara dan merupakan petunjuk dia dalam bahaya.

Polisi segera bergerak mengusut kasus ini. Mereka menemukan walkman Tara yang rusak di dekat saluran pembuangan air. Tak lama kemudian, polisi menemukan sepeda gunung milik Tara teronggok di dekat lokasi camping. 20 Mil jauhnya dari rumah gadis tersebut.

Detektif New Mexico menanyai sejumlah saksi. Terungkap, baru dua kilometer Tara bersepeda, ada truk bermerek Ford F-150 yang mengikutinya. Namun agaknya Tara tak sadar diikuti karena mengenakan earphone. Mereka juga tak bisa memastikan apakah pengemudi truk tersebut berniat jahat dan terlibat dalam hilangnya Tara.

Waktu berlalu. Kasus hilangnya Tara Calico masih jadi misteri.

Foto Polaroid wanita terikat

Juni 1989, setahun setelah Tara hilang, seorang wanita yang sedang berbelanja di Port St. Joe, Florida, melihat foto polaroid tergeletak di tempat parkir. Lokasi itu jauhnya 1.600 mil dari lokasi Tara hilang.

Dia melihat foto seorang wanita dengan tangan terikat dan mulut ditutup lakban. Ada juga seorang bocah lelaki yang mendapat perlakuan serupa.

Kabar soal foto itu sampai ke telinga ibu Tara. Dia yakin gadis remaja yang terikat di atas ranjang itu putrinya. Warna rambut, mata dan beberapa tanda lahir identik dengan Tara.


Di mana Tara sekarang? Teror apa yang mereka alami? Siapa yang mengikat Tara dan bocah lelaki itu? Foto ini menambah pelik kasus tersebut.

Kasus Tara pun kembali ramai dibicarakan publik. Beberapa stasiun TV membuat tayangan dokumenter soal hilangnya Tara Calico. Dukungan pun terus mengalir pada kedua orang tua Tara.






Tahun terus berganti, tak ada kabar tentang Tara. Polisi mengaku kesulitan mengusut kasus ini.


Tahun 2008, kembali ada titik terang. Sherif Valencia County, New Mexico yang bernama Rene Rivera mengaku tahu apa yang terjadi pada Tara Calico. Masalahnya, tubuh Tara tak pernah ditemukan. Hal itu yang membuat Sherif Rivera kesulitan mengusut orang-orang yang diduga terlibat.

"Pelakunya kenal dengan Tara. Diduga dua pemuda, masih dari lingkungan sama yang mengetahui kebiasaan Tara," kata Rivera seperti dikutip crimefeed.

Sherif Rivera menambahkan Tara Calico adalah gadis cantik yang populer di kota itu. Banyak pemuda yang ingin mendekatinya. Modus dua pria ini pun pada awalnya diperkirakan sama.

Mereka diperkirakan mengikuti Tara. Berbeda dengan sejumlah dugaan yang menyebut Tara disekap dan diperkosa terlebih dahulu sebelum dibunuh, Sherif Rivera menduga dua pemuda itu tak sengaja menabrak Tara saat mereka mencoba menggoda Tara yang sedang bersepeda. 

"Mereka panik setelah menabrak Tara. Bukannya menyerahkan diri pada polisi, dua pemuda ini malah memutuskan untuk mengubur jenazah Tara di tempat yang tak diketahui. Keluarga mereka diduga ikut menutupi perbuatan ini. Hal ini yang membuat penyelidikan kasus Tara Calico kehilangan jejak," kata Rivera.

Rivera pun yakin jenazah Tara Calico sebenarnya tak jauh dari rumah.

Namun analisa Rivera bertentangan dengan hasil penyelidikan foto polaroid. Pihak Scotland Yard, kepolisian London, yang dimintai bantuan dalam kasus ini memastikan wanita terikat dalam foto itu adalah Tara Calico. Artinya Tara tak tewas ditabrak, tapi disekap oleh penculiknya.

Kembali sejumlah informasi bermunculan. Mulai dari pelakunya kekasih Tara sendiri bersama sejumlah temannya. Hingga seorang psikopat yang gemar menculik di tempat sepi. Tak ada satu pun yang terbukti kebenarannya.

Tragisnya, ayah Tara meninggal tahun 2002. Sang ibu menyusul tahun 2006 lalu. Hingga meninggal, mereka tak tahu kabar soal putrinya.

Kini sudah 29 tahun sejak Tara Calico meninggalkan rumahnya. Hingga hari ini, kasusnya masih misteri. Jenazah atau kabar Tara tak pernah ditemukan.